Selasa, 18 Oktober 2011

Kanker Leher Rahim

Kapan Harus Vaksinasi?

Kanker leher rahim menempati urutan kedua untuk kanker pada wanita di seluruh dunia. Diperkirakan angka kejadiannya mencapai 493.000 kasus baru, dan menyebabkan 274.000 kematian pada tahun 2002. Ironisnya, 83 persen dari kasus ini terjadi di negara berkembang, termasuk Indonesia.

Di Indonesia, kanker leher rahim berada di urutan pertama untuk kanker pada wanita, disusul kanker payudara. Yang lebih memprihatinkan, sebagian besar kasus kanker leher rahim yang datang untuk mencari pengobatan sudah berada dalam stadium lanjut. Akibatnya, angka kematian dan kecacatan yang ditimbulkan relatif tinggi.

Banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kanker leher rahim. Namun, salah satu faktor terpenting adalah infeksi persisten Human Papilloma Virus (HPV) tipe-16 dan 18. Virus ini dinyatakan terkait dengan 70 persen kasus kanker leher rahim, meskipun ada data yang menyebutkan lebih dari itu.

HPV didapat melalui hubungan seksual, dan merupakan salah satu infeksi paling sering yang ditularkan melalui hubungan seksual. Berdasarkan pernyataan CDC (Centre for Disease Control and Prevention), sampai usia 50 tahun, 80 persen wanita di Amerika Serikat paling tidak pernah kontak dengan satu tipe HPV selama hidupnya.

Untungnya, tidak semua infeksi HPV tipe-16 dan 18 akan berkembang menjadi lesi prakanker dan kanker leher rahim. Sebaliknya, 90 persen dari infeksi ini akan mampu diatasi oleh sistemm kekebalan tubuh dan akan hilang dalam dua tahun.

Saling terkait

Beberapa faktor risiko yang meningkatkan kemungkinan seseorang mendapat kanker leher rahim adalah hubungan seksual pertama saat usia muda, berganti-ganti pasangan seksual, berhubungan dengan pria yang memiliki banyak pasangan seksual, faktor genetik, merokok, gangguan sistem kekebalan tubuh (misalnya pengidap HIV).

Semua faktor risiko itu saling terkait satu dengan yang lain. Hubungan seksual usia muda akan meningkatkan risiko terinfeksi HPV lebih dini, dan memberikan virus waktu yang lebih panjang untuk menimbulkan perubahan yang akan menimbulkan kanker. Begitu juga dengan berganti-ganti pasangan seksual akan meningkatkan risiko terinfeksi HPV.

Sekitar 90 persen dari infeksi HPV mampu dinetralkan oleh sistem pertahanan tubuh. Di sini tampaknya ada peran faktor genetik dan merokok sebagai penyebab kegagalan sistem imun untuk menetralkan infeksi tersebut. Hal serupa juga ditemukan pada pengidap HIV, yang mengalami gangguan sistem kekebalan tubuh.

Vaksin pencegah

Sebelumnya upaya menurunkan angka kematian dan kecacatan akibat kanker leher rahim dilakukan dengan upaya deteksi dini (papsmear, IVA). Kini dunia kedokteran telah berhasil membuat terobosan dalam pencegahan primer kanker leher rahim, yaitu dengan vaksinasi. Hal ini berdasarkan fakta bahwa sebagian besar kasus kanker leher rahim terkait dengan infeksi HPV tipe-16 dan 18.

Ada dua jenis vaksin, vaksin tipe bivalen (proteksi terhadap HPV tipe-16 dan 18) dikatakan aman dan masih mampu memberikan respon pembentukan antibodi bila diberikan kepada wanita usia 55 tahun. Sementara untuk vaksin quadrivalen (proteksi terhadap HPV 6, 11, 16, 18) dikatakan aman dan masih memberikan proteksi bila diberikan pada wanita usia 45 tahun.

Kedua jenis vaksin yang beredar di masyarakat tersebut dapat memberikan proteksi terhadap infeksi HPV tipe-16 dan 18 yang menjadi penyebab kanker leher rahim. Dengan adanya vaksin ini tentu akan membawa perasaan lega bagi wanita karena merasa akan terlindungi dari kanker leher rahim.

Sebelum kontak seksual

Pertanyaannya, kapan vaksin ini tepat untuk diberikan? Pada usia berapa? Institut Kanker Nasional AS menyatakan, bila vaksinasi dilakukan dengan benar pada semua wanita, akan berpotensi mengurangi kematian akibar kanker leher rahim sebanyak dua per tiga di seluruh dunia. Vaksinasi juga akan mengurangi kebutuhan tindakan medis invasif, sehingga akhirnya akan mengurangi biaya pengobatan.

Vaksinasi HPV paling efektif dilakukan sebelum kontak seksual pertama, dengan alasan bahwa vaksin ini akan efektif bekerja sebelum seseorang tennfeksi HPV. Alasannya, setiap kontak seksual dianggap membawa risiko untuk terinfeksi HPV.

Di beberapa negara, vaksinasi sudah menjadi program pemerintah dan dianjurkan sejak usia 9 tahun. Di beberapa negara lain, diberikan sejak usia 13 tahun dengan rentang usia rata-rata 15-25 tahun.

Vaksin ini dinyatakan akan memberikan hasil paling efektif bila diberikan sebelum kontak seksual pertama dan wanita tersebut belum terinfeksi HPV. Namun, yang menjadi pertimbangan kemudian adalah ada banyak tipe HP, meski yang disinyalir dapat menyebabkan kanker adalah tipe-16 dan 18, dan vaksinasi Ini ditujukan untuk HPV tipe ini (16 dan 18).

Jadi, diasumsikan pada kontak seksual pertama, wanita yang terinfeksi HPV belum tentu memiliki tipe-16 dan 18, sehingga masih rasional bila dilakukan vaksinasi setelah kontak seksual pertama.

CDC kemudian mengeluarkan pernyataan bahwa vaksinasi dapat diberikan pada usia di atas 26 dan masih memberikan nilai proteksi terhadap kanker leher rahim. Mengingat banyaknya tipe dan tingginya derajat transmisi HPV, wanita yang aktif seksual akan selalu membawa risiko dalam hidupnya untuk mendapatkan infeksi HPV baru.

Bukan pengganti Papsmear

Bagi wanita yang sudah melakukan kontak seksual biasanya dianjurkan untuk melakukan papsmear terlebih dahulu. Bila dari hasil papsmear dicurigai ada infeksi oleh virus, akan dilakukan beberapa tindakan untuk mengeliminasi infeksi tersebut sebelum dilakukan vaksinasi.

Sering timbul pertanyaan apakah dengan vaksinasi kemudian papsmear akan ditinggalkan? Pada dasarnya vaksinasi tidak dibuat untuk menggantikan posisi papsmear dalam deteksi dini kanker leher rahim.

Seperti diketahui, 70 persen kanker leher rahim terkait dengan HPV, berarti ada sekitar 30 persen yang tidak terkait dengan HPV, yang tidak dapat dicegah dengan vaksinasi. Biaya vaksinasi tergolong mahal, dan tidak semua kalangan di negara kita mampu mendapatkannya.

Terlepas soal biaya, vaksinasi layak menjadi pertimbangan bagi wanita, dengan tidak melupakan papsmear tentunya. Menghindari faktor risiko yang ada, salah satunya dengan tidak merokok dan menerapkan perilaku seksual yang sehat dan aman juga menjadi hal yang sepantasnya dilakukan dalam menghindari kanker leher rahim.

Oleh:
Dr. Evert Pangkahila
(alumnus Universitas Udayana, peserta Female Cancer Program Summer Spring Course and Master Class, Leiden University tahun 2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MEDIA INFORMASI